Seorang teman tiba-tiba mengeluh, "bro, saya tidak lulus". Saya sempat berpikir satu detik sampai ingat bahwa temanku ini ikut ujian CPNS. Curhatnya pun berlanjut dengan kalimat-kalimat mendayu-dayu. Kalimat-kalimat yang secara otomatis saya jawab "sabar".
Tak henti temanku ini berkeluh-kesah. Hampir semua keluh kesah itu saya dengar, sebagian tak saya dengar karena otak saya sedang mencari kalimat yang tepat sebagai tanggapan. Kususun sudah kalimat menenangkan, semacam motivasi dan empati ala Mario Teguh di TV dulu, toh yang saya ucapkan tetap kata "sabar".
Bantahan saya baru keluar setelah dia mengucap "sia-sia saya belajar". Entah kenapa tiba-tiba kejutan listrik statis menyala-nyala di otak saya. Mungkin karena latar belakang saya seorang guru, maka kata "belajar" menjadi kunci rangkaian kata-kata.
Saya pernah mendengar bahwa belajar tidak pernah sia-sia. Belajar tidak begitu linear dengan kelulusan seseorang dalam tes. Keberhasilan belajar bukan diukur dengan instrumen tes saja. Keberhasilan belajar bisa dilihat dari perubahan tingkah laku atau cara berpikir.
Akan tetapi menurut pandangan Konfusius, belajar bisa sia-sia jika kita tidak berpikir. Seseorang yang menganggap dirinya belajar dengan mengerjakan kemungkinan soal, bisa jadi minim berpikir. Jika itu terjadi, maka belajar itu menjadi sia-sia.
Jika kita belajar sambil berpikir, maka belajar IPS bagi seorang guru IPA pun ada gunanya. Bukan pada kebutuhan praktisnya untuk mengajar, tetapi menjadi sintesa dalam menulis bebas seperti yang saya lakukan sekarang.
Di perguruan tinggi, saat masih kuliah di jurusan fisika, saya pernah merasa bahwa belajar Biologi Umum, Kimia dasar dan kalkulus berjilid-jilid itu tidak penting. Beberapa tahun kemudian, di SMP mata pelajaran IPA terpadu lahir. Saya tidak kaku lagi menggunakan miksroskop dan tabung reaksi. Matematika dalam kalkulus menjadi penting, karena ternyata salah satu kesulitan belajar anak-anak pada pelajaran IPA adalah matematikanya.
Bukan hanya pada bidang keilmuan lain, saya juga pernah merasa sia-sia belajar buku terjemahan Hallyday & Resnick. Buku dua edisi yang kalau ditumpuk setinggi kucing itu, rupanya tetap berguna walaupun hanya mengajar fisika di SMP.
Saya ingin kembali mempertanyakan gaya belajar teman ini. Apakah dia hanya mengerjakan soal latihan lalu menghapal jawaban?. Pertanyaan itu tak jadi saya utarakan. Ia lebih dulu berkata "sia-sia saya mengabdi". Saya mengerti kekecewaannya, bahwa usianya saat ini sudah 35 tahun. Jika aturan tak berubah, tahun ini adalah tahun terakhir kesempatan ikut seleksi CPNS. Tentu tak etis menghakimi cara belajarnya.
Ia mengabdi sejak lulus kuliah. Bahkan saya masih kuliah, teman saya ini sudah jadi honorer. saya sangat memahami, bahwa usahanya untuk belajar adalah bentuk kepatuhannya pada aturan passing grade. Ia dipaksa bersaing dengan lulusan baru, yang kemampuan kognitifnya masih hangat-hangatnya.
Pemerintah mencari orang-orang kompeten. Honorer yang sudah tua diperlakukan seperti tiang lapuk, melupakan bahwa tiang itu pernah menyangga sisi rumahnya yang kosong tanpa tiang. Bertahun-tahun lalu, beberapa kantor masih kekurangan PNS, termasuk guru. Maka diisilah kekurangan ini dengan merekrut honorer. Pekerja yang tak dijamin masa tua dan kesehatannya. Kehadiran mereka membuat roda pemerintahan tetap berjalan.
Terbitnya Undang-Undang ASN semakin mempertegas kegamangan masa tua para honorer. Sekalipun dijanjikan perjanjian kerja, toh tetap harus dites lagi. Sekali lagi, pengabdian mereka tak diperhitungkan di usia yang semakin menua. Kita semua sepakat bahwa negara butuh ASN berkualitas, Akan tetapi kualitas mereka di masa muda mungkin saja telah dikuras habis oleh negara itu sendiri.
Tak henti temanku ini berkeluh-kesah. Hampir semua keluh kesah itu saya dengar, sebagian tak saya dengar karena otak saya sedang mencari kalimat yang tepat sebagai tanggapan. Kususun sudah kalimat menenangkan, semacam motivasi dan empati ala Mario Teguh di TV dulu, toh yang saya ucapkan tetap kata "sabar".
Bantahan saya baru keluar setelah dia mengucap "sia-sia saya belajar". Entah kenapa tiba-tiba kejutan listrik statis menyala-nyala di otak saya. Mungkin karena latar belakang saya seorang guru, maka kata "belajar" menjadi kunci rangkaian kata-kata.
Saya pernah mendengar bahwa belajar tidak pernah sia-sia. Belajar tidak begitu linear dengan kelulusan seseorang dalam tes. Keberhasilan belajar bukan diukur dengan instrumen tes saja. Keberhasilan belajar bisa dilihat dari perubahan tingkah laku atau cara berpikir.
Akan tetapi menurut pandangan Konfusius, belajar bisa sia-sia jika kita tidak berpikir. Seseorang yang menganggap dirinya belajar dengan mengerjakan kemungkinan soal, bisa jadi minim berpikir. Jika itu terjadi, maka belajar itu menjadi sia-sia.
Jika kita belajar sambil berpikir, maka belajar IPS bagi seorang guru IPA pun ada gunanya. Bukan pada kebutuhan praktisnya untuk mengajar, tetapi menjadi sintesa dalam menulis bebas seperti yang saya lakukan sekarang.
Di perguruan tinggi, saat masih kuliah di jurusan fisika, saya pernah merasa bahwa belajar Biologi Umum, Kimia dasar dan kalkulus berjilid-jilid itu tidak penting. Beberapa tahun kemudian, di SMP mata pelajaran IPA terpadu lahir. Saya tidak kaku lagi menggunakan miksroskop dan tabung reaksi. Matematika dalam kalkulus menjadi penting, karena ternyata salah satu kesulitan belajar anak-anak pada pelajaran IPA adalah matematikanya.
Bukan hanya pada bidang keilmuan lain, saya juga pernah merasa sia-sia belajar buku terjemahan Hallyday & Resnick. Buku dua edisi yang kalau ditumpuk setinggi kucing itu, rupanya tetap berguna walaupun hanya mengajar fisika di SMP.
Saya ingin kembali mempertanyakan gaya belajar teman ini. Apakah dia hanya mengerjakan soal latihan lalu menghapal jawaban?. Pertanyaan itu tak jadi saya utarakan. Ia lebih dulu berkata "sia-sia saya mengabdi". Saya mengerti kekecewaannya, bahwa usianya saat ini sudah 35 tahun. Jika aturan tak berubah, tahun ini adalah tahun terakhir kesempatan ikut seleksi CPNS. Tentu tak etis menghakimi cara belajarnya.
Ia mengabdi sejak lulus kuliah. Bahkan saya masih kuliah, teman saya ini sudah jadi honorer. saya sangat memahami, bahwa usahanya untuk belajar adalah bentuk kepatuhannya pada aturan passing grade. Ia dipaksa bersaing dengan lulusan baru, yang kemampuan kognitifnya masih hangat-hangatnya.
Pemerintah mencari orang-orang kompeten. Honorer yang sudah tua diperlakukan seperti tiang lapuk, melupakan bahwa tiang itu pernah menyangga sisi rumahnya yang kosong tanpa tiang. Bertahun-tahun lalu, beberapa kantor masih kekurangan PNS, termasuk guru. Maka diisilah kekurangan ini dengan merekrut honorer. Pekerja yang tak dijamin masa tua dan kesehatannya. Kehadiran mereka membuat roda pemerintahan tetap berjalan.
Terbitnya Undang-Undang ASN semakin mempertegas kegamangan masa tua para honorer. Sekalipun dijanjikan perjanjian kerja, toh tetap harus dites lagi. Sekali lagi, pengabdian mereka tak diperhitungkan di usia yang semakin menua. Kita semua sepakat bahwa negara butuh ASN berkualitas, Akan tetapi kualitas mereka di masa muda mungkin saja telah dikuras habis oleh negara itu sendiri.
EmoticonEmoticon