gambar:hellosehat.com |
Saya dan beberapa teman mendeklarasikan diri sebagai kelompok "Anti Vaksin". Saat kegiatan vaksinasi di sekolah, saya bergegas meninggalkan sekolah. Melenggang dengan kepala kaku. Tak berbalik sedikitpun. Semua itu sebagai bentuk protes terhadap vaksinasi. Kepala sekolah dan beberapa guru tentu saja mencari-cari saya.
Kepala sekolah waktu itu menyusul saya keluar sekolah. Saya mempercepat langkah dan mencoba bersembunyi. Teman-teman "sealiran" berpencar ke arah lain. Hingga akhirnya kepala sekolah menemukan tempat saya bersembunyi.
Kami saling berhadapan dalam situasi yang genting. Saya sangat tegang dan rasanya ingin melarikan diri lagi. Kepala sekolah menarik tangan saya. Saya meronta, menangis keras, membuat panik kawanan bebek yang melintas. Kawanan bebek ini kaget hingga barisan rapinya pecah. Tapi, saya tetap bersikukuh tak mau divaksin.
Saya ini anti vaksin bukan karena provokasi pihak tertentu. Saya sebenarnya takut jarum suntik. Meskipun guru selalu mencoba membesarkan hati saya bahwa disuntik itu hanya seperti digigit semut, toh kenyataannya tak ada semut yang sesakit itu gigitannya.
Begitulah saya semasa SD. Masa presiden tunggal yang tak mau diganti karena mungkin tak ada yang berani mengganti. Saat mendengar suara motor, saya cepat-cepat melihat keluar kelas. Kecepatan saya menengok mungkin lebih cepat dari kecepatan suara. Begitu dentuman pertama knalpot motor yang terputus-putus kedengaran, mata saya sudah terpaku di pagar sekolah.
Gaya 'start' lari jarak jauh segera di persiapkan. Jaga-jaga jika yang melenggang masuk adalah bapak tua berpakaian putih dengan tas hitam jinjing. Itu pasti Pak Mantri. Tak ada tujuan lain selain menyuntik.
Tidak setiap hari juga kami seperti itu. Hanya pada hari-hari tertentu saja. Rumor kedatangan Pak Mantri selalu terdengar sehari sebelumnya. Ketegangannya dibawa sehari semalam, bak keresahan Raja Troy mendengar kabar berlabuhnya pasukan Agamemmon.
Naas, pada hari dimana kami berjaga-jaga. Pak Mantri justru datang diam-diam. Motornya sengaja diparkir jauh dari sekolah. Datang disaat kami sibuk belajar di kelas dengan pakaian tidak biasa, bukan putih lagi. Kami dikelabui.
Hari itu juga gugurlah sudah deklarasi kami sebagai kelompok anti vaksin. Mata kawan-kawan seperjuangan layu, mengantri disuntik satu persatu. Atas permintaan pribadi saya jadi yang pertama disuntik. Tak sudi saya berteriak dihadapan kawan-kawan yang tak mau di vaksin. Meskipun akhirnya teriak juga saat disuntik, bahkan menangis.
EmoticonEmoticon