Entah dari mana rimbanya, trend istilah pelakor (perebut lelaki orang) tiba-tiba saja memenuhi linimasa media sosial. Bahkan saya dan beberapa teman juga ikut-ikutan membicarakannya di salah satu warung kopi di Nunukan. Aneh ya.
Merujuk pada kronologi trend media sosial. Sebelum trend pelakor muncul, wanita jomblo atau lambat menikah menjadi bahan olok-olokan. Mungkin saja orang yang yang diolok-olok ini karena terpojok, akhirnya mencari hubungan dengan lelaki tanpa konfirmasi status perkawinan. Bisa jadi.
Dari sekian banyak kisah yang saya dan teman dengar. Drama "pelakor" selalu melibatkan 3 pelaku utama, yaitu suami, istri dan wanita lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak boleh di kecualikan.
Saya yakin bahwa pencetus istilah pelakor ingin memberi hukuman sosial untuk orang-orang selingkuh. Akan tetapi, disisi lain malah mendangkalkan makna perselingkuhan. Wanita lain menjadi biang segalanya. Laki-laki dianggap seperti benda mati yang diperebutkan. Padahal laki-laki juga punya peran yang mungkin lebih utama.
Menjadikan wanita lain sebagai objek masalah mencerminkan kepengecutan sang pencetus istilah. Sang istri sah ingin melimpahkan persoalan pada satu orang saja. Takut kelihatan kesalahannya. Hingga mengambil kesimpulan praktis bahwa retaknya hubungan sah mereka karena godaan dari orang lain. Lalu dilabelilah mereka pelakor. Padahal wanita lain ini hanya pelakon dari sinetron perselingkuhan.
Ketakutan terlihat "salah" tumbuh menjadi anti kritik. Anti kritik tidak lain adalah kepengecutan. Istri-istri pengecut berusaha melindungi dirinya dengan melimpahkan kesalahan kepada pihak lain atau intimidasi terhadap pihak tertentu. Mungkin untuk mempertahankan otoritas ataupun kekuasaannya.
Yang mengkhawatirkan juga bahwa trend media sosial tentang pelakor mengalami perkembangan yang dulunya hanya berupa curhat yang disertai meme, menjadi video labrak-melabrak.
Tidak menutup kemungkinan nantinya akan lebih formal lagi. Misalnya, munculnya "Majelis Kehormatan Istri" kemudian membuat undang-undang anti pelakor. Lalu para pelakor juga ikut-ikut menuntut secara hukum para istri yang suka melabrak mereka. Semakin rumit kan?.
Sedikit wejangan penutup, bahwa membina rumah tangga tidak mungkin dengan hanya ikrar suci akad nikah saja. Rumah tangga mengarungi kehidupan yang dinamis. Butuh penyesuaian-penyesuain tertentu dalam menjalin hubungan. Kekakuan hubungan suami istri justru akan meretakkan rumah tangga yang terbangun. Keretakan hubungan ini membuka ruang perselingkuhan.
Merujuk pada kronologi trend media sosial. Sebelum trend pelakor muncul, wanita jomblo atau lambat menikah menjadi bahan olok-olokan. Mungkin saja orang yang yang diolok-olok ini karena terpojok, akhirnya mencari hubungan dengan lelaki tanpa konfirmasi status perkawinan. Bisa jadi.
Baca Juga
Saya yakin bahwa pencetus istilah pelakor ingin memberi hukuman sosial untuk orang-orang selingkuh. Akan tetapi, disisi lain malah mendangkalkan makna perselingkuhan. Wanita lain menjadi biang segalanya. Laki-laki dianggap seperti benda mati yang diperebutkan. Padahal laki-laki juga punya peran yang mungkin lebih utama.
Menjadikan wanita lain sebagai objek masalah mencerminkan kepengecutan sang pencetus istilah. Sang istri sah ingin melimpahkan persoalan pada satu orang saja. Takut kelihatan kesalahannya. Hingga mengambil kesimpulan praktis bahwa retaknya hubungan sah mereka karena godaan dari orang lain. Lalu dilabelilah mereka pelakor. Padahal wanita lain ini hanya pelakon dari sinetron perselingkuhan.
Ketakutan terlihat "salah" tumbuh menjadi anti kritik. Anti kritik tidak lain adalah kepengecutan. Istri-istri pengecut berusaha melindungi dirinya dengan melimpahkan kesalahan kepada pihak lain atau intimidasi terhadap pihak tertentu. Mungkin untuk mempertahankan otoritas ataupun kekuasaannya.
Yang mengkhawatirkan juga bahwa trend media sosial tentang pelakor mengalami perkembangan yang dulunya hanya berupa curhat yang disertai meme, menjadi video labrak-melabrak.
Tidak menutup kemungkinan nantinya akan lebih formal lagi. Misalnya, munculnya "Majelis Kehormatan Istri" kemudian membuat undang-undang anti pelakor. Lalu para pelakor juga ikut-ikut menuntut secara hukum para istri yang suka melabrak mereka. Semakin rumit kan?.
Sedikit wejangan penutup, bahwa membina rumah tangga tidak mungkin dengan hanya ikrar suci akad nikah saja. Rumah tangga mengarungi kehidupan yang dinamis. Butuh penyesuaian-penyesuain tertentu dalam menjalin hubungan. Kekakuan hubungan suami istri justru akan meretakkan rumah tangga yang terbangun. Keretakan hubungan ini membuka ruang perselingkuhan.
EmoticonEmoticon