ilustrasi : Tribunnews.com |
Panas terik sore itu, beberapa anak muda berkumpul di bawah pohon waru. Tepat di tengah perempatan depan Masjid Fastabiqul Khairat Katumbangan. Sebuah bendera kuning diikat di pohon waru. Bendera bertuliskan Parma Katumbangan.
Parma Katumbangan adalah nama klub sepakbola Desa Katumbangan Lemo. Parma seingat saya akronim dari persatuan sepakbola katumbangan. Penamaannya terinspirasi dari klub Italia Parma FC. Pemainnya adalah pemuda-pemuda pilihan se-katumbangan Lemo. Hari itu mereka siap berangkat ke sebuah pertandingan persahabatan antar desa.
Baca Juga
Sebelum berangkat, mereka berkumpul di rumah orang tua saya. Para pemain sepakbola ini berdoa bersama dan mengatur strategi sebelum berangkat. Jam berangkatnya tidak sembarangan. Saya yang waktu itu masih usia 6 tahun belum paham apa itu ussul. Hingga saat ini, ussul yang saya pahami pun masih sangat dangkal. Salah satu ussul dalam sepakbola yang saya ingat adalah arah masuk ke lapangan yang bergantung pada lintang lapangan dan arah mata angin.
Saya sangat senang ikut bertandang ke desa lain meskipun saya sendiri tidak tahu bermain sepakbola. Tentu saja karena tuan rumah selalu menyajikan aneka kue atau bubur kacang ijo yang sangat umum saat itu. Parma Katumbangan termasuk tim sepakbola yang diperhitungkan. Tentu bangga ikut rombongannya. Kala itu tim sangat solid karena olahraga sepakbola begitu populer di Katumbangan.
Sejak memori otak saya mulai bekerja, Mereka adalah generasi kedua Parma Katumbangan. Tim dari generasi Hakim, Mustono, Husain, Taming, Kadir, Enre, Kumang dan beberapa orang yang tak lagi tinggal diingatan. Tim ini berkelana ke berbagai desa pada tahun 90-an. Dari kemenangan, kekalahan, hingga perkelahian banyak mewarnai kisah mereka.
Seingat saya, generasi pertama adalah generasi Bapak. Kenangan paling melekat adalah saat Bapak dan timnya bertandang ke daerah Siwa dalam laga persahabatan. Saya sangat senang karena sekilas Bapak terekam kamera TVRI yang kami nonton dari televisi hitam putih.
Generasi terakhir yang berkumpul di rumah adalah generasi kedua. Pohon Waru di tengah perempatan, depan rumah menjadi semacam check point sebelum bertandang ke desa lain. Pohon Waru itu ditebang saat proyek pengaspalan jalan desa.
Generasi ketiga sepakbola di desa ini adalah pemuda yang lahir di akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Peralihan generasi ini tidak begitu drastis, karena masih adanya pemain dari generasi kedua yang mengisi tim. Tim ini masih tetap diperhitungkan di wilayah campalagian dan sekitarnya. Parma Katumbangan memang bukanlah tim superpower, tetapi bisa menyulitkan tim lawan.
Entah karena pengaruh politik dan ego antar kampung, ataupun masalah lahan lapangan. Generasi ketiga ini pecah menjadi dua tim dalam satu desa. Latihan kemudian digilir harinya. Tak sanggup saya mengungkit seluk beluk perpecahan, karena tim sepakbola kebanggaan desa menjadi tim lemah yang tak percaya diri lagi.
Pemuda yang ikut latihan semakin sedikit hingga tak ada yang tersisa lagi. Kini saya hanya bisa menuliskan di blog ini, bahwa dahulu ada sebuah tim sepakbola hebat di desa kita. Tim yang hancur akibat perseteruan. Belajarlah dari itu.
EmoticonEmoticon