Film selalu punya pesan. Entah itu langsung ataupun simbolik. Demikianlah saya memahami film.
Saya baru saja mengikuti pemutaran film "Air Mata Terakhir Bunda" yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seluruh guru di wilayah Pulau Nunukan dan Sebatik diundang untuk menonton bersama film ini. Saya sendiri belum pernah menonton sebelumnya.
Acara yang mengambil tema "Persemaian Nilai Budaya" ini awalnya saya anggap film biasa saja. Ternyata, film "Air Mata Terakhir Bunda" ini menampilkan sebuah pesan sosial dan menusuk-nusuk kepekaan kita.
Musnahnya Desa Renokenongo
Saya tidak menyangka sama sekali bahwa film ini menyinggung kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Kecurigaan saya bermula di opening film saat Vino G Bastian berdiri di tempat tandus yang tanahnya retak-retak. Awalnya saya menyangka itu adalah bekas tambak atau sawah. Tak nampak tanda-tanda kehidupan di tanah lapang itu.
Saya baru yakin saat di pertengahan film ada adegan pawai anak sekolah. Pawai yang membawakan sekolah SDN 1 Renokenongo.
Ingatan saya langsung terkoneksi pada pemberitaan tahun 2012 di sindonews, bahwa ada empat desa yang terhapus dari peta Sidoarjo. Salah satu desa itu adalah Desa Renokenongo.
Tahun 2006, diberitakan bahwa salah satu sekolah yang masih luput dari banjir lumpur kala itu adalah SDN 1 Renokenongo. Dua tahun kemudian, tanggul penampung lumpur dibangun dan desa kecil itu menjadi tempat penampungan lumpur.
Kemiskinan itu harus dilawan
Pesan kuat tergambar dalam film ini adalah potret keluarga miskin yang tak pernah menyerah pada kehidupan.
Mereka berusaha melawan kemiskinan mereka, bekerja keras dan belajar yang giat. Hingga sang anak dapat melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Potret seorang ibu yang bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan makan dan pendidikan anaknya.
Dua anak yang diasuh oleh ibunya yakni Delta dan Iqbal adalah anak-anak yang kuat meskipun tanpa ayah. Ayahnya adalah seorang pengusaha sepatu yang tak pernah turut meringankan beban keluarga karena memiliki istri lain.
Nama delta sebagai pemeran utama dalam film ini pengantar saya terhubung pada stadion klub sepakbola. Apalagi kalau bukan Stadion Delta Sidoarjo.
Bagi saya, penggambaran ayahnya yang sukses dan tak begitu membantu aecara ekonomi adalah pesan kepada penonton untuk selalu mandiri dan tidak mengharap belas kasihan orang, meskipun itu orang terdekat.
Airmata terakhir bunda adalah makna tangisan ibu pertiwi terhadap korban lumpur lapindo dan realitas kemiskinan di Indonesia. Delta berhasil meretas kemiskinannya melalui pendidikan.
"Kita yang tinggal di perbatasan mungkin terbatas, tapi keterbatasan itu harus kita lawan". Kalimat yang saya lontarkan di sesi dialog, ditanggapi positif oleh salah satu pejabat direktorat sejarah kemendikbud yang saya tak begitu ingat namanya. Ia menambahkan dengan frase"jika kita keras terhadap kehidupan maka kehidupan akan lunak pada kita, demikian sebaliknya"
Saya baru saja mengikuti pemutaran film "Air Mata Terakhir Bunda" yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seluruh guru di wilayah Pulau Nunukan dan Sebatik diundang untuk menonton bersama film ini. Saya sendiri belum pernah menonton sebelumnya.
Acara yang mengambil tema "Persemaian Nilai Budaya" ini awalnya saya anggap film biasa saja. Ternyata, film "Air Mata Terakhir Bunda" ini menampilkan sebuah pesan sosial dan menusuk-nusuk kepekaan kita.
Musnahnya Desa Renokenongo
Saya tidak menyangka sama sekali bahwa film ini menyinggung kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Kecurigaan saya bermula di opening film saat Vino G Bastian berdiri di tempat tandus yang tanahnya retak-retak. Awalnya saya menyangka itu adalah bekas tambak atau sawah. Tak nampak tanda-tanda kehidupan di tanah lapang itu.
Saya baru yakin saat di pertengahan film ada adegan pawai anak sekolah. Pawai yang membawakan sekolah SDN 1 Renokenongo.
Ingatan saya langsung terkoneksi pada pemberitaan tahun 2012 di sindonews, bahwa ada empat desa yang terhapus dari peta Sidoarjo. Salah satu desa itu adalah Desa Renokenongo.
Tahun 2006, diberitakan bahwa salah satu sekolah yang masih luput dari banjir lumpur kala itu adalah SDN 1 Renokenongo. Dua tahun kemudian, tanggul penampung lumpur dibangun dan desa kecil itu menjadi tempat penampungan lumpur.
Kemiskinan itu harus dilawan
Pesan kuat tergambar dalam film ini adalah potret keluarga miskin yang tak pernah menyerah pada kehidupan.
Mereka berusaha melawan kemiskinan mereka, bekerja keras dan belajar yang giat. Hingga sang anak dapat melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Potret seorang ibu yang bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan makan dan pendidikan anaknya.
Dua anak yang diasuh oleh ibunya yakni Delta dan Iqbal adalah anak-anak yang kuat meskipun tanpa ayah. Ayahnya adalah seorang pengusaha sepatu yang tak pernah turut meringankan beban keluarga karena memiliki istri lain.
Nama delta sebagai pemeran utama dalam film ini pengantar saya terhubung pada stadion klub sepakbola. Apalagi kalau bukan Stadion Delta Sidoarjo.
Bagi saya, penggambaran ayahnya yang sukses dan tak begitu membantu aecara ekonomi adalah pesan kepada penonton untuk selalu mandiri dan tidak mengharap belas kasihan orang, meskipun itu orang terdekat.
Airmata terakhir bunda adalah makna tangisan ibu pertiwi terhadap korban lumpur lapindo dan realitas kemiskinan di Indonesia. Delta berhasil meretas kemiskinannya melalui pendidikan.
"Kita yang tinggal di perbatasan mungkin terbatas, tapi keterbatasan itu harus kita lawan". Kalimat yang saya lontarkan di sesi dialog, ditanggapi positif oleh salah satu pejabat direktorat sejarah kemendikbud yang saya tak begitu ingat namanya. Ia menambahkan dengan frase"jika kita keras terhadap kehidupan maka kehidupan akan lunak pada kita, demikian sebaliknya"
EmoticonEmoticon