Pro kontra pemutaran film "G 30 S" menjadi trending akhir-akhir ini. Beberapa kelompok menilai pemutaran film ini adalah sebuah edukasi sejarah agar masyarakat tidak lupa pada kisah kelam di masa itu.
Sementara kelompok lain yang bersebrangan menganggap pemutaran film ini sebagai sebuah kemunduran. Alasannya, karena film yang ditayangkan sejak tahun 1984 ini adalah produk orde baru. Film ini dinilai sebagai propaganda rezim saat itu untuk mengangkat nama tokoh tertentu.
Saya tidak akan fokus pada siapa yang benar dan siapa yang salah. Terserah apakh film ini mau diputar atau tidak. Saya lebih tertarik pada pernyataan bahwa film ini adalah bagian dari edukasi sejarah. Lalu, pantaskah sebuah film dijadikan rujukan pendidikan sejarah?
Sutradara kenamaan Hanum Bramantyo mengatakan "film tidak dapat dijadikan sebagai rujukan sejarah karena hanya mampu memotret satu sudut pandang dari seluruh rangkaian peristiwa yang berlangsung". Saya sangat sepakat dengan pernyataan ini. Sejarah tidak mungkin dijelaskan dengan film karena sintesa data dalam film sangat terbatas pada sudut pandang tertentu.
Film jika ingin dijadikan media pendidikan haruslah punya dasar metodologi penelitian dalam pembuatanya. Apakah sang penulis skenario film telah melalui tahap seperti para peneliti sejarah? Atau hanya mengakomodir kepentingan rezim yang berkuasa saat itu?. Inilah pertanyaan mendasar yang harus kita pahami dengan baik sebelum terburu-buru mengangkat film menjadi media pendidikan.
Film adalah media yang berfokus pada plot tertentu dalam sebuah peristiwa. Kebanyakan film dibuat dengan riset terbatas. Berbeda dengan media yang diangkat menjadi rujukan pendidikan. Media pendidikan harus betul-betul faktual dan terpercaya dan melalui serangkaian metode ilmiah.
Sebuah film sebagai media audio visual hanya merupakan penunjang dalam tujuan pembelajaran. Artinya, film bukanlah narasi tunggal untuk mencapai tujuan pembelajaran sejarah. Film jika ingin dijadikan media pendidikan sejarah harus dibarengi dengan edukasi lebih lanjut.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah materi film apakah cocok untuk semua umur atau tidak. Misalnya kekerasan vulgar, adegan dewasa atau bernuasa SARA. jika hal seperti ini tidak diperhatikan, maka sebuah film memang tidak layak untuk di angkat sebagai media pendidikan.
Sementara kelompok lain yang bersebrangan menganggap pemutaran film ini sebagai sebuah kemunduran. Alasannya, karena film yang ditayangkan sejak tahun 1984 ini adalah produk orde baru. Film ini dinilai sebagai propaganda rezim saat itu untuk mengangkat nama tokoh tertentu.
Saya tidak akan fokus pada siapa yang benar dan siapa yang salah. Terserah apakh film ini mau diputar atau tidak. Saya lebih tertarik pada pernyataan bahwa film ini adalah bagian dari edukasi sejarah. Lalu, pantaskah sebuah film dijadikan rujukan pendidikan sejarah?
Sutradara kenamaan Hanum Bramantyo mengatakan "film tidak dapat dijadikan sebagai rujukan sejarah karena hanya mampu memotret satu sudut pandang dari seluruh rangkaian peristiwa yang berlangsung". Saya sangat sepakat dengan pernyataan ini. Sejarah tidak mungkin dijelaskan dengan film karena sintesa data dalam film sangat terbatas pada sudut pandang tertentu.
Film jika ingin dijadikan media pendidikan haruslah punya dasar metodologi penelitian dalam pembuatanya. Apakah sang penulis skenario film telah melalui tahap seperti para peneliti sejarah? Atau hanya mengakomodir kepentingan rezim yang berkuasa saat itu?. Inilah pertanyaan mendasar yang harus kita pahami dengan baik sebelum terburu-buru mengangkat film menjadi media pendidikan.
Film adalah media yang berfokus pada plot tertentu dalam sebuah peristiwa. Kebanyakan film dibuat dengan riset terbatas. Berbeda dengan media yang diangkat menjadi rujukan pendidikan. Media pendidikan harus betul-betul faktual dan terpercaya dan melalui serangkaian metode ilmiah.
Sebuah film sebagai media audio visual hanya merupakan penunjang dalam tujuan pembelajaran. Artinya, film bukanlah narasi tunggal untuk mencapai tujuan pembelajaran sejarah. Film jika ingin dijadikan media pendidikan sejarah harus dibarengi dengan edukasi lebih lanjut.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah materi film apakah cocok untuk semua umur atau tidak. Misalnya kekerasan vulgar, adegan dewasa atau bernuasa SARA. jika hal seperti ini tidak diperhatikan, maka sebuah film memang tidak layak untuk di angkat sebagai media pendidikan.
EmoticonEmoticon