Suatu kesyukuran buat kami, diterima tinggal satu rumah dengan keluarga kepala desa. Beberapa posko KKN justru diberi rumah kosong oleh kepala desanya. Kami diperlakukan dengan sangat baik.
Tingkah kami yang "setengah waras" dimaklumi. Beliau mungkin pernah dongkol, tapi tak pernah ditunjukkan kepada kami. Pada upacara peringatan hari kemerdekaan saya terlambat bersiap di pagi hari, Pung Barunding hanya berkata, “yang terlambat ditinggal”. Akhirnya hari itu saya ditinggal.
Tingkah kami yang "setengah waras" dimaklumi. Beliau mungkin pernah dongkol, tapi tak pernah ditunjukkan kepada kami. Pada upacara peringatan hari kemerdekaan saya terlambat bersiap di pagi hari, Pung Barunding hanya berkata, “yang terlambat ditinggal”. Akhirnya hari itu saya ditinggal.
Ibu desa lebih banyak membimbing teman-teman perempuan menyediakan keperluan dapur. Saya sering mendengar cerita-cerita mereka dari beranda kecil samping dapur.
Kiky bendahara kami lah yang paling banyak berurusan dengan Ibu Desa. Berbelanja kebutuhan pasar sampai merencanakan acara makan-makan. Ibu Desa tidak pernah absen memastikan teh hangat untuk kami di pagi hari.
Kiky bendahara kami lah yang paling banyak berurusan dengan Ibu Desa. Berbelanja kebutuhan pasar sampai merencanakan acara makan-makan. Ibu Desa tidak pernah absen memastikan teh hangat untuk kami di pagi hari.
Baca juga :
Musim libur membuat keluarga ini berkumpul lengkap. Anak-anaknya yang kuliah dan sekolah di kota lain pulang. Andi Uga dan Andi Illang datang. Andi Uga kuliah di salah satu akademi kebidanan di makassar. Andi Illang sendiri sekolah di Pare-Pare. Dua saudara ini terlihat lebih mirip ketimbang ketiga adiknya, Andi Qalbi, Andi Reski dan Andi Rahmat. Kedatangan mereka dirayakan keluarga ini. Kami juga terbawa dalam suasana.
Pada waktu itu, Tidak banyak kendaraan umum yang sampai di Mampise. Kendaraan umum yang mengantar Andi Uga pun hanya sampai di jembatan kayu. Pak desa karena kesibukannya meminta saya menjemput anak pertamanya ini. Penjemputan yang minim percakapan. Rasanya ingin memacu motor di jalan kerikil sekencang-kencangnya. Seperti saat saya di jemput pertama kali oleh pak desa. tapi tidak jadi, karena balas dendam itu tidak baik.
Pada waktu itu, Tidak banyak kendaraan umum yang sampai di Mampise. Kendaraan umum yang mengantar Andi Uga pun hanya sampai di jembatan kayu. Pak desa karena kesibukannya meminta saya menjemput anak pertamanya ini. Penjemputan yang minim percakapan. Rasanya ingin memacu motor di jalan kerikil sekencang-kencangnya. Seperti saat saya di jemput pertama kali oleh pak desa. tapi tidak jadi, karena balas dendam itu tidak baik.
Di rumah, saya lebih banyak bercakap dengan Andi Illang dan Andi Rahmat. Kami sering jalan bersama jika ada kegiatan di luar. Kadang-kadang mereka merokok. Serba salah juga jadinya mau dilapor ke orang tuanya atau tidak. Anak laki-laki kedua ini lebih liar dari pada kakaknya. Andi Reski waktu itu sering sakit-sakitan. Kata dokter dia sakit maag padahal umurnya masih anak-anak. Sempat terlintas dalam pikiran saya kok cepat sekali dia kena penyakit maag.
Dengan anak sulung beliau saya lebih menjaga jarak. Usianya tidak terlalu jauh. Saya menghindari kesan “PDKT”. Jangankan percakapan, kontak mata saja saya hindari. Semua demi menghormati Bapak Kepala Desa. saya juga menghormati nilai-nilai fundamental yang terjaga baik di desa ini. Mungkin karena sebagian besar dari mereka masih satu keluarga. Suasana keakraban yang tidak akan kita temui di perkotaan. Walaupun kebanyakan tidak berpendidikan tinggi waktu itu, tapi kualitas kehidupan mereka jauh lebih baik dari orang-orang bertitel.
Keakraban kami dan keluarga ini seolah tak bersekat. Kami sering diajak berkunjung ke rumah keluarga mereka di Pujo. Saya sendiri sudah lupa jalan ke kampung itu.
Kabar terakhir, keluarga beliau sudah jarang di Mampise. Di manapun mereka sekarang, selalu ada ruang hampa di benak saya saat mengenang kehangatan mereka.
Dengan anak sulung beliau saya lebih menjaga jarak. Usianya tidak terlalu jauh. Saya menghindari kesan “PDKT”. Jangankan percakapan, kontak mata saja saya hindari. Semua demi menghormati Bapak Kepala Desa. saya juga menghormati nilai-nilai fundamental yang terjaga baik di desa ini. Mungkin karena sebagian besar dari mereka masih satu keluarga. Suasana keakraban yang tidak akan kita temui di perkotaan. Walaupun kebanyakan tidak berpendidikan tinggi waktu itu, tapi kualitas kehidupan mereka jauh lebih baik dari orang-orang bertitel.
Keakraban kami dan keluarga ini seolah tak bersekat. Kami sering diajak berkunjung ke rumah keluarga mereka di Pujo. Saya sendiri sudah lupa jalan ke kampung itu.
Kabar terakhir, keluarga beliau sudah jarang di Mampise. Di manapun mereka sekarang, selalu ada ruang hampa di benak saya saat mengenang kehangatan mereka.
EmoticonEmoticon