Tahun 2006, pertama kali saya berkunjung ke Dusun Mampise. Kala itu jalannya masih kerikil. Saya dan teman-teman rombongan KKN Universitas Negeri Makasar tiba sore hari. Letaknya lumayan jauh dari ibu kota Kabupaten Sidrap. Lebih dekat dengan Kabupaten Wajo. Dari Makassar, kami menempuh perjalanan sekitar 200 km menuju Pangkajene Sidrap.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Tanru Tedong melalui jalan poros Wajo (Sengkang). Jaraknya sekitar 30-an km. Tanru Tedong dalam bahasa bugis berarti tanduk kerbau. Entah kenapa dinamai seperti itu. Setelah pasar Tanru Tedong, kami belok kiri ke arah Desa Dongi kemudian lanjut ke Desa Betao. Ada lagi desa setelah itu namanya Betao Riase.
Menurut cerita yang saya dengar kedua desa ini dibagi dua menjadi Betao atau Betao Riawa (Betao di bawah) karena letaknya di lembah, dan Betao Riase (Betao di atas) karena letaknya di bagian gunung. Jarak perjalanan dari Tanru Tedong ke Betao Sekitar 15 km.
Waktu itu, kepala desa menjemput kami di Dongi. Saya berboncengan motor dengan beliau. Alasan memilih saya dibonceng karena saya adalah kordinator desa (kordes) posko Betao. Terlepas dari pemilihan kordes di Makassar yang terkesan menjebak, saya ikut.
Teman-teman yang lain menyusul di belakang. Awalnya perjalanan mulus-mulus saja. Ekspresi wajah saya mendadak berubah setelah melewati Desa Bulu Cenrana. Jalannya mulai berkerikil dan sepertinya bapak kepala desa lupa kalau beliau sedang membawa manusia. Motornya masih saja kencang seperti di jalan mulus sebelumnya. 20 menit tanpa percakapan di jalan terasa lama sekali. Saya masih terlalu segan untuk membuka pembicaraan.
Baca juga :
Di beranda rumah ada kursi-kursi plastik untuk bersantai. Ruang tamunya melintang selebar badan rumah. Setelah ruang tamu ada ruang keluarga yang berada di antara dua kamar. Kamar di sebelah kiri disediakan untuk putri dan kamar sebelah kanan disediakan untuk putra. Di ruang keluarga ini ada televisi yang tersambung dengan antena parabola.
Televisinya ada di sebelah kanan dekat pintu kamar putra. Di dekat pintu kamar putri sebelah kiri ada semacam meja kerja. Masuk sedikit melewati ruang keluarga ada meja makan di sebelah kiri dan kamar keluarga di sebelah kanan. Ruang makan dan ruang keluarga tidak memiliki sekat.
Meja makan sedikit terlindung jika dilihat dari ruang tamu karena berada disamping kamar putri. Sedangkan kamar pribadi bapak kepala desa tepat berimpit dengan kamar putra. Setelah ruang makan ada dapur yang agak menjorok ke belakang. Hanya separuh dari badan rumah bagian kiri. Dapurnya ini agak tinggi sedikit. Mungkin sekitar setengah meter.
Untuk menuju dapur kita naik dua anak tangga. Didapur ini kemudian ada pintu samping dengan beranda kecil diluarnya. Kamar mandi terpisah sekitar 4 meter dari samping kanan rumah. Lurus dengan pintu sampingnya. Di belakang rumah ada hamparan sawah yang membentang luas dan menyejukkan mata.
Kami mulai berkenalan dengan bapak kepala desa dan istrinya. Kami memanggil bapak kepala desa Pung Barunding. Istrinya hanya saya panggil “pung” saja karena saya tidak tahu nama aslinya. “Pung” adalah panggilan kehormatan untuk bangsawan bugis di Sidrap. Berkolerasi dengan kata “puang” di wilayah lain Sulawesi Selatan.
Dua anaknya yang juga ikut menyambut kami adalah Andi rahmat dan Andi reski. Anak sulung beliau Andi Anugrah kuliah di Makassar. Anak Kedua Andi Ilham bersekolah di Pare pare.Teman-teman saya, Nadi, Baso, Kiki, Sinar, Ammi, Etty, Eta dan Ela larut dalam perkenalan malam itu. Ela sebenarnya tidak satu posko dengan kami saat pengelompokan di Makassar.
Camat setempat mempertimbangkan desa penempatannya yang sulit di jangkau (harus berputar lewat enrekang) akhirnya dia gabungkan dengan kami. Awal pertemuan kami yang saling “jaim” tapi berlanjut lepas beberapa hari kemudian.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Tanru Tedong melalui jalan poros Wajo (Sengkang). Jaraknya sekitar 30-an km. Tanru Tedong dalam bahasa bugis berarti tanduk kerbau. Entah kenapa dinamai seperti itu. Setelah pasar Tanru Tedong, kami belok kiri ke arah Desa Dongi kemudian lanjut ke Desa Betao. Ada lagi desa setelah itu namanya Betao Riase.
Menurut cerita yang saya dengar kedua desa ini dibagi dua menjadi Betao atau Betao Riawa (Betao di bawah) karena letaknya di lembah, dan Betao Riase (Betao di atas) karena letaknya di bagian gunung. Jarak perjalanan dari Tanru Tedong ke Betao Sekitar 15 km.
Waktu itu, kepala desa menjemput kami di Dongi. Saya berboncengan motor dengan beliau. Alasan memilih saya dibonceng karena saya adalah kordinator desa (kordes) posko Betao. Terlepas dari pemilihan kordes di Makassar yang terkesan menjebak, saya ikut.
Teman-teman yang lain menyusul di belakang. Awalnya perjalanan mulus-mulus saja. Ekspresi wajah saya mendadak berubah setelah melewati Desa Bulu Cenrana. Jalannya mulai berkerikil dan sepertinya bapak kepala desa lupa kalau beliau sedang membawa manusia. Motornya masih saja kencang seperti di jalan mulus sebelumnya. 20 menit tanpa percakapan di jalan terasa lama sekali. Saya masih terlalu segan untuk membuka pembicaraan.
Baca juga :
Tibalah kami di rumah kepala desa sekaligus posko di Dusun Mampise. Rumah ini adalah rumah kayu berlantai semen. Halamannya luas dan dihiasi puluhan “bunga terkini”. Bunga terkini memang sangat populer tahun itu. Harganya bisa mencapai seratus ribu per pot. Di samping rumah ada parkiran, lengkap dengan mobil hartop warna merah.
Di beranda rumah ada kursi-kursi plastik untuk bersantai. Ruang tamunya melintang selebar badan rumah. Setelah ruang tamu ada ruang keluarga yang berada di antara dua kamar. Kamar di sebelah kiri disediakan untuk putri dan kamar sebelah kanan disediakan untuk putra. Di ruang keluarga ini ada televisi yang tersambung dengan antena parabola.
Televisinya ada di sebelah kanan dekat pintu kamar putra. Di dekat pintu kamar putri sebelah kiri ada semacam meja kerja. Masuk sedikit melewati ruang keluarga ada meja makan di sebelah kiri dan kamar keluarga di sebelah kanan. Ruang makan dan ruang keluarga tidak memiliki sekat.
Meja makan sedikit terlindung jika dilihat dari ruang tamu karena berada disamping kamar putri. Sedangkan kamar pribadi bapak kepala desa tepat berimpit dengan kamar putra. Setelah ruang makan ada dapur yang agak menjorok ke belakang. Hanya separuh dari badan rumah bagian kiri. Dapurnya ini agak tinggi sedikit. Mungkin sekitar setengah meter.
Untuk menuju dapur kita naik dua anak tangga. Didapur ini kemudian ada pintu samping dengan beranda kecil diluarnya. Kamar mandi terpisah sekitar 4 meter dari samping kanan rumah. Lurus dengan pintu sampingnya. Di belakang rumah ada hamparan sawah yang membentang luas dan menyejukkan mata.
Kepala Desa dan Nyonya |
Dua anaknya yang juga ikut menyambut kami adalah Andi rahmat dan Andi reski. Anak sulung beliau Andi Anugrah kuliah di Makassar. Anak Kedua Andi Ilham bersekolah di Pare pare.Teman-teman saya, Nadi, Baso, Kiki, Sinar, Ammi, Etty, Eta dan Ela larut dalam perkenalan malam itu. Ela sebenarnya tidak satu posko dengan kami saat pengelompokan di Makassar.
Camat setempat mempertimbangkan desa penempatannya yang sulit di jangkau (harus berputar lewat enrekang) akhirnya dia gabungkan dengan kami. Awal pertemuan kami yang saling “jaim” tapi berlanjut lepas beberapa hari kemudian.
EmoticonEmoticon