Pulang kampung kali ini memberikan pengalaman baru yang tidak pernah
saya alami sebelumnya. Baru kali ini semua terencana dengan baik. Tiket
pesawat sudah di booking sejak sebulan sebelumnya. Bahkan tiket
speedboat pun sudah dibeli dua hari sebelum keberangkatan. Barang-barang
kami packing pada malam sabtunya, lebih tepatnya istri saya yang
packing semuanya, saya hanya mengecek saja. Kendaraan di titip di rumah
teman kantor yang baik hati.
Tibalah harinya, pukul 07.00 wita kami meninggalkan rumah, menuju pelabuhan liem hie jung. Pelabuhan ini adalah pelabuhan speedboat yang menghubungkan Nunukan-Tarakan. Konon katanya, nama pelabuhan ini diambil dari nama seorang pedagang Tionghoa yang merintis perdagangan di pulau Nunukan zaman dulu. Harga tiket Nunukan – Tarakan saat ini sudah mencapai Rp 230.000 per orang dewasa sementara untuk anak—anak Rp. 120.000.
Hampir setiap kenaikan harga bahan bakar minyak, harga tiket juga naik. Sedianya, memasuki pelabuhan kita harus membayar retribusi kendaraan. Tapi karena petugas yang menjaga pernah menjadi siswa saya, dia sedikit malu untuk menagih. Setidaknya itulah bentuk terima kasih dan penghormatan kepada guru yang pernah mendidiknya.
Di Pelabuhan ini kami mendapat informasi bahwa speedboat Triputri
yang sudah kami beli tiketnya batal berangkat. Untungnya manajemen
Triputri bertanggungjawab mengalihkan tiket kami ke DC 10. Tawar menawar
sempat terjadi beberapa menit karena speedboat DC 10 tidak menjual
tiket anak. Mereka menawarkan untuk membeli 2 tiket saja dengan syarat
dua anak saya ini harus dipangku selama perjalanan.
Dengan pertimbangan tidak ingin memangku anak 8 tahun selama dua jam lebih, akhirnya kami menambah pembayaran Rp 110.000. setelah semuanya selesai, barulah kami menuju terminal penumpang. Tapi sebelum masuk terminal, kami kebetulan bertemu keluarga Istri saya. Dari percakapan singkat, dia bilang akan pulang ke Makassar juga.
Dengan pertimbangan tidak ingin memangku anak 8 tahun selama dua jam lebih, akhirnya kami menambah pembayaran Rp 110.000. setelah semuanya selesai, barulah kami menuju terminal penumpang. Tapi sebelum masuk terminal, kami kebetulan bertemu keluarga Istri saya. Dari percakapan singkat, dia bilang akan pulang ke Makassar juga.
Baca Juga : Perjalanan Pertama Ke Sebatik (Lautan dan Ketakutan)
Memasuki terminal keberangkatan, kami membayar Rp 2000 retribusi
terminal. Mata saya mencari-cari Petugas pelabuhan yang membawa
barang-barang kami dengan troli, rupanya, kami tidak memperhatikan
kemana arah Petugas pelabuhan itu akibat tawar-menawar dengan Manajemen
DC 10 tadi. Saya bolak-balik sampai dua kali ke dekat parkiran kemudian
masuk lagi ke terminal penumpang, tapi belum ketemu juga.
Terlintas dalam pikiran saya, mungkin petugas sudah mengangkut barang menaiki speedboat. Saya tergesa-gesa menuju speedboat untuk mengecek ke beradaan barang-barang kami. Maklum, kehilangan barang adalah hal yang sering terjadi pada penumpang di pelabuhan atau bandara. Mendekati dermaga, saya masih mencari-cari, dan Alhamdulillah barangnya sudah diangkat petugas keatas speedboat.
Terlintas dalam pikiran saya, mungkin petugas sudah mengangkut barang menaiki speedboat. Saya tergesa-gesa menuju speedboat untuk mengecek ke beradaan barang-barang kami. Maklum, kehilangan barang adalah hal yang sering terjadi pada penumpang di pelabuhan atau bandara. Mendekati dermaga, saya masih mencari-cari, dan Alhamdulillah barangnya sudah diangkat petugas keatas speedboat.
Kami menaiki speedboat dengan perasaan sedikit tenang karena kelihatannya ombak laut pagi ini bersahabat. Imam, anak saya yang paling besar berbisik “tidak sabar aku mau ketemu teman-temanku di Mandar”; saya hanya menanggapinya dengan senyum karena sibuk mencocokkan tiket dengan nomor kursi di dalam speedboat. Mengamati kursi satu-persatu, kutemukan kursi nomor 2 dan 3 yang ternyata ada di bagian depan.
Saya mengarahkan syfa, anak bungsu saya bersama Istri di kursi itu. Tinggal satu tiket lagi yang kami tidak temukan nomornya. Tiket Imam bernomor 41 tidak ada di deretan kursi. Sambil terus mencari, saya bertanya sama penumpang lain “ Pak dimana no 41?” tanyaku. “di luar pak” jawab seorang Bapak. Di luar berarti berada di dekat mesin tanpa atap dan tanpa dinding. Jadi saya putuskan bertukar tempat dengan imam, biar saya saja yang duduk diluar.
Ada sekitar 6 orang yang kebagian kursi di luar. Diantaranya keluarga istri saya yang kami temui di pintu terminal keberangkatan tadi. Karena pertimbangan dia sendirian perempuan, Imam pun saya ajak duduk di luar, sedang keluarga istri saya tadi duduk di dalam. Di samping saya duduk seorang anak muda, dari bahasa yang saya dengar dengan temannya anak muda itu berasal dari Toraja. “puasakah pak?, saya minum dulu ya” ujar anak muda tadi. Rupanya benar dia dari Toraja, saya mempersilahkan dia minum, sambil sembunyi-sembunyi iapun minum air mineral ditangannya. salut atas toleransinya terhadap yang berpuasa.
Tidak banyak kejadian selama perjalanan dari Nunukan ke Tarakan, yang terdengar hanya suara mesin dan sesekali senyum sapa dengan penumpang lain. Rasanya memang tidak adil, dengan harga tiket sama dengan penumpang di dalam yang menikmati film Captain America Civil War bajakan, kami harus duduk di luar dengan resiko keamanan buruk. Begitulah transportasi di Indonesia, orang yang sering bepergian pasti tahu rasanya.
Awalnya semua normal saja, sekitar 15 menit perjalanan barulah sinar matahari mengenai kami. Masing-masing kemudian mencari posisi untuk berteduh, hanya saya yang harus menikmati sinar matahari karena si Imam yang tidur dipangkuan saya. Saya juga mencoba untuk tidur, tapi tiba-tiba di kagetkan oleh guncangan mendadak disusul suara mesin yang rendah pertanda speedboat sedang dikurangi kecepatannya. Setelah menengok kedepan dan bertanya, ternyata di depan ada sebuah perahu kecil yang hampir bertabrakan dengan speedboat kami.
Sekitar 2 jam perjalanan kami tiba di Tarakan, tepat saat speedoat sudah merapat saya ditabrak oleh ibu-ibu disusul penumpang lain yang rupanya saling berlomba naik ke dermaga, saya juga heran mengapa semua orang terburu-buru hingga menabrak penumpang lain. Aktifitas di dermaga terlihat normal saja, para Buruh sibuk mengangkat barang, penjual menjajakan jualannya, jasa angkutan menawarkan jasa antar.
Saya kemudian naik ke dermaga untuk mengecek barang-barang, rupanya semua barang sudah diangkat oleh buruh pelabuhan, saya pikir semuanya gratis alias bagian dari jasa pelabuhan, ternyata kami harus membayar Rp 10.000 per potong barang. Rasanya ingin protes, tapi saya urungkan karena seorang Ibu yang lebih dahulu protes justru ingin dikembalikan barangnya ke speedboat.
Berangkat ke bandara, kami menggunakan jasa angkutan yang dibayar RP 100.000 untuk 3 orang dewasa. Keluarga istri saya yang sudah sama-sama berangkat tadi juga ikut bersama kami. Setibanya di bandara, saya mencari troli untuk mengangkut barang, tapi troli-troli bandara tarakan sudah dipegang oleh bapak-bapak berseragam biru tua yang menawarkan jasa angkat dengan bayaran Rp. 50.000 untuk dua troli barang.
Mau tidak mau, dari pada mengangkat barang banyak kami bersedia, ditambah barang dari dua orang ibu yang kebetulan satu angkutan dengan kami. Saya ingin membayar tapi ibu itu lebih dulu membayar dan tidak mau mengambil uang dari kami. Sangat disayangkan jika di bandara sekelas Juwata masih ada jasa-jasa seperti itu.
Lama perjalanan Tarakan-Makassar kurang lebih satu jam 40 menit. Masih ada saja penumpang yang nekad menyalakan alat elektroniknya selama penerbangan sepertinya kurang peduli atau mungkin kurang tahu tentang standar keselamatan penerbangan. Pesawat kami mendarat dengan mulus di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Satu step perjalanan terlewati.
Patut diakui, tidak sedikit tabungan yang dikuras untuk pulang kampung. itulah tradisi kita, tradisi para perantau, menemui orang tua saat hari raya, sebagai ungkapan syukur masih ada orang tua yang bisa di temui.
EmoticonEmoticon