Setelah mendapat telepon dari pak Marry Padang malam kemarin, dengan tiba-tiba saya berangkat hari ini. Saya harus naik speedboat dari Nunukan ke Tarakan. Pukul 7.34 am, saya sudah berada di pelabuhan. Setelah bertanya-tanya ke loket, akhirnya mendapatkan tiket speedboat yang berangkat jam 8.00.
Dalam perjalanan saya sedikit agak tegang, maklumlah karena baru pertama kali naik speedboat. Moncong speedboat ini agak mendongak ke atas. Kemiringannnya sekitar 20 derajat. Ditengah upaya menenangkan diri, saya tertidur sebentar.
Saya terbangun di tengah perjalanan dan melihat sekeliling. Sepanjang pesisir yang saya lewati berjajar rangkaian pohon bakau. Saya terbayang, alangkah indahnya kehidupan biota laut di bawah hutan bakau itu.
Propinsi Kalimantan Timur cukup terkenal sebagai provinsi kaya. Kaya akan sumber daya alam yang justru jadi ladang subur para kapitalis. Sebuah Industri kayu besar tampak kokoh dan sehat di pinggiran pulau. Saya belum tahu pulau apa namanya. Perbincangan para aktivis tentang hutan kalimantan yang sangat mengkhawatirkan kelestariannya, sedikit terbukti. Saya orangvbaru di pulau ini sehingga tidak punya data yang valid soal itu. Menurut beritavyang saya baca di koran, Industri kayu yang masih beroperasi kadang melanggar aturan. Kabarnya juga pembukaan perkebunan juga meluas. Pulau kalimantan yang diharapkan menjadi paru-paru dunia (seperti doktrin negara-negara Industri), sepertinya akan terserang "TBC akut".
Saya kemudian menelpon untuk dijemput. Bus penumpang yang biasanya mengantar dari dermaga ke jalan raya sudah lebih dulu meninggalkan pelabuhan. Saya ketinggalan. Walhasil, saya jalan kaki sekitar 100 m keluar lingkungan pelabuhan.
Setibanya jemputan dari Pak Marry, kami langsung menuju bandara. Supir angkot yang kami tumpangi menceritakan adegan dan lokasi konflik yang kami lewati. sungguh mengerikan ceritanya.
Sesaat sebelum memasuki bandara, terbesit sedikit ketidakpercayaan terhadap transportasi udara Indonesia. Apalagi kalau bukan soal keamanan. Tetapi tidak ada alat transportasi lain sebagai pilihan, ya terpaksa naik pesawat... Alhamdulillah akhirnya tiba juga dengan selamat.........
Bersambung.....
Dalam perjalanan saya sedikit agak tegang, maklumlah karena baru pertama kali naik speedboat. Moncong speedboat ini agak mendongak ke atas. Kemiringannnya sekitar 20 derajat. Ditengah upaya menenangkan diri, saya tertidur sebentar.
Saya terbangun di tengah perjalanan dan melihat sekeliling. Sepanjang pesisir yang saya lewati berjajar rangkaian pohon bakau. Saya terbayang, alangkah indahnya kehidupan biota laut di bawah hutan bakau itu.
Propinsi Kalimantan Timur cukup terkenal sebagai provinsi kaya. Kaya akan sumber daya alam yang justru jadi ladang subur para kapitalis. Sebuah Industri kayu besar tampak kokoh dan sehat di pinggiran pulau. Saya belum tahu pulau apa namanya. Perbincangan para aktivis tentang hutan kalimantan yang sangat mengkhawatirkan kelestariannya, sedikit terbukti. Saya orangvbaru di pulau ini sehingga tidak punya data yang valid soal itu. Menurut beritavyang saya baca di koran, Industri kayu yang masih beroperasi kadang melanggar aturan. Kabarnya juga pembukaan perkebunan juga meluas. Pulau kalimantan yang diharapkan menjadi paru-paru dunia (seperti doktrin negara-negara Industri), sepertinya akan terserang "TBC akut".
Baca juga : Road To Balikpapan Part II (cerita-cerita)Saya melihat jam menunjukkan pukul 10. 05 pagi. Sebentar lagi, speedboat akan berlabuh di pelabuhan Tarakan. Sekedar mengingatkan, Tarakan adalah daerah bekas konflik antar etnis. akan tetapi tetap saja masih banyak simbol-simbol etnis di sekitar pelabuhan yang sebenarnya tidak perlu ditonjolkan dalam negara kesatuan ini. Jangan sampai menjadi bibit perpecahan baru setelah perdamaian beberapa bulan lalu. Soal konflik, tidak ada yang patut disalahkan dan tidak ada yang tepat untuk dibenarkan. Semua pihak berperan dalam terciptanya keadaan kondusif ataupun kekacauan. Politik tidak sehat sering menyutradarai "drama" suku dan golongan termarginalkan yang endingnya kadang berdarah. Ujung-ujungnya adalah kepentingan. Disisi lain, masyarakat juga semakin mudah terprovokasi. Barangkali karena kondisi ekonomi atau hal lain yang di luar kemampuan nalar awam saya.
Saya kemudian menelpon untuk dijemput. Bus penumpang yang biasanya mengantar dari dermaga ke jalan raya sudah lebih dulu meninggalkan pelabuhan. Saya ketinggalan. Walhasil, saya jalan kaki sekitar 100 m keluar lingkungan pelabuhan.
Setibanya jemputan dari Pak Marry, kami langsung menuju bandara. Supir angkot yang kami tumpangi menceritakan adegan dan lokasi konflik yang kami lewati. sungguh mengerikan ceritanya.
Sesaat sebelum memasuki bandara, terbesit sedikit ketidakpercayaan terhadap transportasi udara Indonesia. Apalagi kalau bukan soal keamanan. Tetapi tidak ada alat transportasi lain sebagai pilihan, ya terpaksa naik pesawat... Alhamdulillah akhirnya tiba juga dengan selamat.........
Bersambung.....
EmoticonEmoticon